Kamis, 06 Oktober 2016

Pilih DUNIA atau AKHIRAT?

PILIH DUNIA ATAU AKHIRAT?

Pilih dunia atau akhirat?

Pertanyaan yang agak sedikit konyol menurut saya. Maaf bila terdengar sedikit keras, tapi saya akan coba menjelaskannya dengan perlahan.

Sebetulnya sudah lama saya memahami konsep ini. Namun, selama ini saya menyimpannya hanya untuk diri sendiri, karena saya khawatir orang lain tidak akan bisa mengikuti karena penjelasan saya yang kurang baik, atau mungkin karena saya terlalu egois dan rakus untuk menikmatinya sendiri. Oleh karena itu saya putuskan untuk membagikannya. Semoga bisa menginspirasi.

Pilih dunia atau akhirat?

Pertanyaan semacam itu yang seringkali seorang pemuka agama lontarkan dalam kebanyakan materi pencerahannya saat mencoba mengajak audience-nya menjadi seorang pribadi yang lebih taat, saat mencoba menunjukkan bahwa dunia ini adalah sesuatu yang seakan kotor, dan akhirat adalah tempat satu-satunya yang harus kita perjuangkan. Kalimat seperti ''dahulukan akhirat, dunia ini hanya sementara.'', atau ''jangan melulu mengurusi dunia, akhirat itu lebih penting.'' Telah berhasil mengukir guratan yang cukup membekas dalam benak generasi kita sekarang. Tidak ada yang perlu disalahkan, ini hanya soal fenomena alam di mana generasi yang baru selalu mendawasa bersama dominasi pemikiran generasi sebelumnya. Karena yang menjadi masalah sekarang adalah apakah sang genarasi muda ini akan tinggal diam begitu saja dijejali oleh semua warisan pemikiran itu? Tulisan ini akan mencoba membongkar paradigma tersebut.

Baik disadari maupun tidak, statement-statement tersebut mencerminkan pemikiran yang mangatakan bahwa dunia dan akhirat adalah dua hal berbeda yang harus kita pilih. Seolah kita harus selalu mendahulukan urusan akhirat ketimbang dunia. Namun apakah memang seperti itu?

Pertanyaannya sekarang adalah ''Apakah kita akan sukses di akhirat dengan melupakan kehidupan dunia?'' Coba jawab. Tentu tidak bisa, bukan. Akhirat tidak lebih penting dari dunia, dunia tidak sama pentingnya dengan akhirat, dunia lebih penting dari akhirat. Ya, saya ulangi.

Dunia masih lebih penting daripada akhirat.

Kalimat itu yang menjadi headline tulisan ini.

“Apa yang kau tuai hari ini adalah yang kau tanam kemarin” Kalau begitu hari ini pun kita juga sudah dapat memperkirakan bukan apa yang akan besok kita tuai. Begitu pula soal kehidupan dunia dan akhirat. Bagaimana bisa kita berharap selamat di akhirat bila di dunia kita berlaku buruk? Bagaimana bisa kita meminta surga di akhirat bila di dunia kita berkawan dengan kejahatan? Itu artinya apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia yang sekarang ini masih lebih penting daripada tujuan kita di akhirat nanti. Yang kita lakukan hari ini masih lebih berharga daripada keinginan kita di hari esok. Usaha kita di masa ini masih lebih menentukan daripada mimpi-mimpi besar kita di masa depan. Saya tidak mengatakan bahwa tujuan akhir tidak penting, yang ingin saya tekankan adalah bahwa prosesnya masih lebih penting daripada hasilnya. Proses yang baik tentu akan memberikan hasil yang baik pula. Harapan dan keinginan itu hanya akan menjadi ruang kosong, mimpi-mimpi besar itu sekedar akan menjadi kerlipan bintang-bintang penghias langit saja, kecuali kita buktikan bahwa itu bukan hanya sekedar omongan. Dan di sinilah tempat di mana kita akan membuktikan semua itu, kehidupan di mana kita akan memperjuangkan tujuan kita di akhirat kelak, yaitu dunia.

Anggapan yang seringkali orang pikirkan adalah bahwa dunia dan akhirat merupakan dua buah jalan yang berlawanan. Saat kita memilih jalan yang satu, maka otomatis kita akan menjauhi jalan yang lainnya. Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Dunia dan akhirat adalah satu jalan yang saling terhubung.

Dunia dan akhirat adalah satu line yang membentang lurus dalam dimensi waktu kehidupan manusia. Kita tidak bisa begitu saja berharap tiba di akhirat tanpa melewati dunia (Kecuali kita korban aborsi). Dunia adalah proses yang harus dilalui. Sementara akhirat adalah hasil yang akan diterima. Sebagaimana yang kita semua tahu, proses itulah yang menentukan bagaimana nanti hasilnya. Oleh karena itu, proses lebih penting daripada hasil. Dalam kasus ini bekerja hukum sebab-akibat, di mana segala perilaku kita di dunia ini menjadi penyebab dari akibat yang akan kita terima di akhirat nanti.

Efeknya, paradigma mengenai pemisahan antara dunia dan akhirat itu membuat adanya diskriminasi ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Dengan dasar pemikiran yang seperti itu menjadikan kita menjalani kehidupan di mana orang-orang di sekitar kita mengatakan bahwa shalat adalah urusan akhirat dan bekerja adalah urusan dunia, bahwa belajar ilmu agama adalah urusan akhirat dan belajar ilmu fisika adalah urusan dunia, di mana mereka yang dipandang sholeh dan bertakwa tak lain ialah mereka yang selalu mengerjakan urusan akhirat. 

Padahal tidak ada hukum yang menyatakan perbedaan ibadah dunia atau akhirat, yang ada hanyalah ibadah pada Tuhan. Shalat adalah ibadah pada Tuhan, bekerja pun sama. Belajar Ilmu agama adalah ibadah pada Tuhan, belajar ilmu fisika pun sama. Sekalipun ingin dibedakan, itu hanya perkara ''langsung'' atau ''tidak langsung''. Shalat merupakan ibadah yang langsung berhubungan dengan Tuhan, merupakan kegiatan individual yang tak menyangkut manusia lain. Sementara bekerja adalah ibadah tidak langsung. Walaupun kita bekerja dengan atasan kita dan bertujuan untuk memuaskan klien dan konsumen namun apabila kita telusuri semua aktivitas tersebut, pada ujungnya kita akan sampai pada simpulan bahwa pekerjaan yang kita lakukan adalah bentuk ibadah kita pada Tuhan. Memang sulit untuk mencapai pemahaman pada level tersebut, diperlukan pengalaman melatih hati dan pikiran agar niat dan jalannya sesuai. Coba perhatikan contoh kasus tersebut.

Ari bekerja pada sebuah perusahaan manufaktur perakitatan mobil milik Jepang di indonesia. Ia dianuherahi untuk memegang tanggung jawab sebagai General Manager dalam berkontribusi demi pembangunan perusahaan. Tugas Ari adalah menjaga agar kesetabilan supply, produksi, dan penjualan terkendali dengan baik. Ia membuat rangkaian proses bisnis itu terus berjalan. Hasilnya, perusahaan mampu menghasilkan ribuan unit mobil yang siap dinikmati oleh masyarakat. Bapak Arief salah satunya. Ia beserta istri dan keluarganya pergi mudik untuk bersilaturahmi menuju kampung halamannya menggunakan mobil yang perusahaan Ari produksi. Bukankah itu sebuah ibadah? Bayangkan bila Ari malas bekerja lalu siklus produksi terganggu dan keluaran mobilnya menjadi jelek dan tak dapat digunakan oleh Pak Arief untuk mudik Bukankah itu bernilai sebuah idabah saat kita dapat membantu orang lain Saat kita bermanfaat bagi orang lainTerlepas dari apa yang Pak Arief lakukan untuk menggunakan mobil itu, apakah untuk kebaikan atau keburukan itu urusannya dengan Tuhannya sendiri. Hal yang terpenting di sini adalah Pak Ari telah berhasil menyumbangkan keberadaannya bagi kebaikan orang lain dengan pekerjaannya. Tuhan tidak mungkin menurunkan malaikatnya langsung untuk mengantarkan Pak Arief dan keluarganya bermudik ria. Pak Ari adalah perpanjangan tangan Tuhan yang diutus untuk itu.

Tidak ada istilah urusan dunia atau urusan akhirat. Semua urusan kita adalah untuk akhirat, yang dilakukan di dunia. Dunia lebih penting daripada akhirat karena dunia lah tempat kita beribadah, bukan di akhirat. Anggapan bahwa segala urusan akhirat adalah sesuatu yang selalu bermula dari konten ''agamis'' adalah sebuah stereotip yang salah arah. Ceramah seorang ustad di atas mimbar shalat Jumat yang membuat ma'mumnya insyaf adalah sama ibadahnya dengan seorang vokalis band yang melantunkan lirik lagunya dalam sebuah konser dan membuat para penonton kembali bangkit dari kegagalannya. Seorang santri yang belajar ilmu tajwid dalam membaca Al-Quran di pesantren sama ibadahnya dengan seorang mahasiswa akhir yang sedang berlari-lari mengejar acc skripsi dosen pembimbingnya di kampus. Ibadah itu hadir dalam beragam bentuk. Perkaranya ada pada pola pemikaran kita. Ketika kita mampu meniatkan diri untuk ikhlas bahwa semua yang kita lakukan (termasuk bekerja) adalah ibadah kepada-Nya, itu akan meningkatkan keimanan kita pada pencipta kita. Insyaallah hal itu akan Ia perhitungkan sebagai komponen yang akan ikut andil dalam memberatkan timbangan kebaikan kita di hari akhir nanti.

Simpulannya adalah, tidak ada pembedaan antara urusan dunia dan akhirat. Semua aktifitas baik sekecil apapun di dunia ini dapat bernilai ibadah tergantung bagaimana niat dan cara yang kita pilih. Ibadah adalah segala macam bentuk perilaku baik dengan niat pengabdian pada Tuhan dengan jalan menyejahterakan pribadi sendiri, sesama, dan alam.

Saya yakin, yang selama ini disampaikan para pemuka agama itu tidaklah berbeda. Hanya mungkin, selama ini kita kurang mendapatkan penjabaran yang lebih detil saja. Semoga tulisan ini bisa membantu, merangsang, dan menginspirasi kita semua untuk belajar lebih dalam. Mari kita sama-sama tingkatkan ketakwaan kita dengan sebenar-benarnya iman yang dibantu dengan pikiran yang baik.
           
            Jadi, pilih dunia atau akhirat?

            Itu bukan pilihan. Dunia adalah tempat saya memperjuangkan akhirat.

Selasa, 15 Maret 2016

ME and MUSIC

M E
and
M U S I C

Hm.. enaknya ngomongin apa ya sekarang. Ada sih satu topik yang selalu rame buat dibahas. Selalu gak pernah habis buat dibahas. Tapi, itu hanya dirasakan oleh penulisnya aja haha. Yup, hobi. Kalau ngomongin yang satu ini pasti jadi pada heri deh alias heboh sendiri. Bersemangat banget. Serasa dia ingin semua orang tahu bahwa dunianya itu paling seru. Bahwa dunianya itu adalah tempat satu-satunya dia bisa hidup dengan bebas. Bisa hidup dengan bergairah. Tempat di mana dia bisa jadi dia yang paling dia. Yes, itu yang ingin gue tulis kali ini. Hobi.

Musik. Itu hobi gue. Hm.. sejak kapan ya gue suka musik. Gue gak begitu inget sih. Kalau ga salah waktu SMP kelas 3. Lagu yang pertama menarik hati gue itu lagunya Younha judulnya Hikokiboshi. Saking sukanya sama lagu itu gue pergi ke warnet, cari liriknya, gue print, gue hafalin. Dan.. kocaknya, suer.. gue baru tahu sekarang setelah masuk Sastra Jepang kalau itu lagunya Bahasa Jepang. Jadi selama ini gue hafal lagu Jepang.. kok bisa (-_-). Dulu tiap weekend gue selalu main ke rumah kakek. Di sana gue suka merhatiin om dan tante gue main gitar sambil nyanyi-nyanyi. Kaya yang enak aja liatnya gitu. Gue suka ikut-ikutan pegang gitarnya terus petik senarnya dari senar satu sampai enam, gue samain dengan tangga nada do sampai la (bego pokoknya). Tapi makin lama makin gak ada yang pake sampe gitar itu rusak dan cuma di taro di atas lemari. Akhirnya gue colong itu gitar, gue bawa ke rumah. Gue reparasi. Ayah gue adalah guru pertama yang ngajarin gue gitar. Terus gue mainin lagu Younha kesukaan gue itu (untung chordnya gampang hihi). Itulah pertama kalinya gue main musik. Bersama gita (nama gitar pertama gue. Udah sakit kali kayu dikasih nama. Terserah gueeee).

Sampai sekarang gue masih main musik. Walaupun di tentang sana-sini gue masih tetap main. Ya main-main aja gitu, gak serius hehe. Serius deng cuma lagi vakum saja. Mungkin di tulisan lainnya gue ceritain gimana seriusnya musik bagi gue. Bukan hanya hobi, tapi juga mimpi. Tapi di sini yang ingin gue bahasa adalah sebagai berikut (gaya skripsi. Maapin gak bisa move on dari skripsi T.T). Akhir-akhir ini gue sering tanya, “kenapa ya gue suka musik?”. Setelah dikira-kira, mungkin kaya cari jodoh, cari hobi itu memang bakal 11-12 sama yang nyari (coba liat aja deh muka pacar lu. Hati-hati jangan-jangan miripnya sama teman lu o_o). Sering sih, apa pun perkaranya awalnya kita gak akan langsung tahu alasan kenapa kita suka sama seseorang atau sesuatu itu. Tapi, justru karena ketidaktahuan itu, membuktikan bahwa memang ada diri kita yang tersembunyi di alam bawah sadar yang kita gak kenal. Pada saat kita udah nemu alasannya, pasti saat yang bersamaan kita juga nemu diri kita yang sebenarnya itu (jadi ribet sih -_-). Pokoknya intinya, gue itu seakan mencari jati diri lewat musik. Banyak yang bisa gue nikmatin dari sebuah lagu. Gue bisa dapet semangat baru dari lagu-lagu rock yang setiap pagi gue play. Gue bisa tidur siang dengan nyenyak denger playlist relaxing intrument. Gue bisa ngurangin sedih gue lewat nangis bareng lagu-lagu balad. Gue bisa lepasin stres sambil teriak-teriak pake musik underground. Gue bisa belajar Bahasa Jepang lewat lirik Jepangya (formalitas). Ya, Seenggaknya gue bisa dapet satu pelajaran baru dari satu lagu baru yang gue denger. Pelajaran baru yang bisa gue dapet terus simpen buat ngisi kekosongan diri gue. Ketika gue suka sama satu lagu, lagu itu gue ulik, mulai dari vokalnya, instrumennya, liriknya sampe sejarahnya. Dalam proses mendalami itu gue banyak menemukan pecahan-pecahan cermin yang merefleksikan diri gue seperti apa. Semakin banyak lagu yang gue denger, semakin banyak musik yang gue pelajari, kepingan-kepingan cermin itu mulai terkumpul, mulai terbentuk dan cocok buat dirangkai satu sama lain. Lama kelamaan makin besar, gue mulai bisa melihat cerminan mata gue, rambut gue, terus wajah gue. Sampe akhirnya puzzle itu selesai dan terbentuklah satu cermin utuh yang besar. Cermin di mana gue bisa lihat diri gue seutuhnya. Berdiri dari kepala sampai kaki. Mungkin secara gak sadar, tapi gue kira itu yang dilakukan orang-orang dengan hobi-hobi mereka.

Gak ada istilah mainstream atau berbeda buat hobi. Ketika kita udah suka sama sesuatu. Sesuatu itu bakal jadi milik kita sendiri. Gak peduli orang-orang di sekitar kita sukanya sama kaya kita gak. Bobi ya hobi, semua orang berhak suka pada kesukaannya masing-masing. Semua orang bebas berekspresi. Bebas mengeluarkan sedalam-dalamnya jiwa yang terpenjara, berhak memeras batin sampai tetes-tetes terakhir hati nurani. Itulah seni, itulah hobi. Gak ada kelas elit atau kelas rakyat, gak ada yang indah atau jelek, gak ada aturan. Ya yang pasti gak menyenggol hak-hak orang lain. Selama bisa dinikamati, nikmatilah. Selama di sana tempatnya, tinggal lah selamanya. Gak masalah di mana pun tempat tinggal lu, yang penting siapa lu di situ. Apa it lu? Atau bukan.

Menjadi diri sendiri mudah, yang sulit mencari diri sendiri.


Maaf rada alay jaman SMA -_-

Selasa, 08 Maret 2016

Teman Hidup

TEMAN HIDUP


Tiga tahun lalu, hari Jumat jam 3 sore di taman belakang gedung fakultas. Gue duduk disalah satu kursi di tengah-tengah taman itu. Gue bawa tas yang isinya penuh banget. Isinya bukan buku atau makanan, tapi balon. Terus ada sepucuk surat di saku celana gue. Surat tulisan tangan yang acakadut (berantakan) dibungkus dengan amplop lecek yang gak kalah jeleknya. Terus di saku sebelahnya ada dua buah kalung. Kalung bertalikan benang coklat lusuh yang mata kayunya gak karuan gue ukir sendiri bentuk sepasang burung merpati. Gue deg-deg-an abis. Bener, harusnya gue bawa gitar aja tadi. Gue lebih pede kalau pegang gitar sambil nanyi buat nembak cewek. Iya, gue mau nembak cewek hari itu. Cewek ini udah gue taksir selama satu semester alias enam bulan. Rekor terlama gue pdkt-in cewek. Habis ini cewek susah banget didapetin. Tapi dasar cowok, greget banget kalau ada yang cewek yang gak bisa ditaklukin. Tapi yang satu ini emang beda. Gue yakin.

Setelah gue ngelamun cukup lama, akhirnya ada cewek datang. Liat sosoknya dari jauh aja bikin grogi. Pengennya pura-pura gak liat terus kabur. Dia jalan mendekat dan akhirnya duduk sebelah gue. Dan gue masih gak bisa ngomong apa-apa. Dia cuma senyum doang. Nah itu masalahnya, senyumnya itu. Gue gak tak tahan. Kalau ditanya apa yang gue suka dari dia, jawabannya senyumnya. Itu yang buat gue jatuh cinta pandangan pertama sama dia. Pokoknya bisa bikin gue lumer deh. Setelah ngumpulin keberanian gue pun ngasihin surat yang gue simpen dalem saku. Dia baca surat gue yang lumayan panjang itu, dan cuma senyum lagi. Akhirnya dengan mulut beku itu gue berhasil bilang, “aku suka sama kamu”. Terus dia bilang “iya, tau kok.” Gubrakkk. Gue yang udah setengah mati salah tingkah gini dia santai banget ngomongnya (T_T). Harus gitu banget ya jawabnya, apa gak ada jawaban yang lebih romantis atau yang pura-pura sedikit lebih terkejut gitu. Jawaban dia yang itu gak pernah gue lupa sampe sekarang. Ya emang sih gue kalau suka sama cewek gak pernah dipendem-pendem (tipe cowok agresif hehe). Jadi gue juga yakin pasti dia udah tau perasaan gue sejak lama. Cuma gue tunggu waktu yang pas aja buat ngungkapinnya, waktu yang pas saat dia udah gak bisa nolak gue. Lain kali gue bagi tips dapetin cewek deh hoho (maap mantan p-boy -_-). Kembali ke leptop: setelah dia ngomong gitu terus langsung gue tembak, “mau gak jadi pacar aku?”. Dia ngangguk sambil senyum. Walaupun gue udah tau kalau dia juga suka sama gue tapi tetep aja waktu itu rasanya lemes banget. Lega. Seneng banget. Terus gue keluarin kalung yang gue taro dalem saku. Gue pakein kalungnya di leher dia dan sepasang lagi dipake gua. Semenjak hari itu, gue dan dia pun jadian.

Setelah hari itu banyak yang udah terjadi. Kalau para single (suka marah kalau disebut jomblo) bilang punya cewek itu pasti enak. Hm.. iya mereka benar, emang enak hahaha canda. Gak sepenuhnya enak. Banyak juga masalahnya. Banyak kesiksanya. Sering juga kepikiran mungkin kalau gak punya cewek gak akan kaya gini atau gak akan kaya gitu. Kadang juga kangen waktu sendiri (udah lupa rasanya gak punya cewek). Serasa hilang kebebasan gitu. Gue yakin perasaan ini bukan gue doang yang ngalamin tapi pasti cewek gue juga rasain. Intinya adalah gue dan cewe gue udah banyak melalui cobaan dalam sebuah hubungan selama tiga tahun ini. Ada banyak hal yang gak gue dapet ketika gue sendiri. Emang bener kata orang kalau “berbagi sulit akan mengurangi setengahnya, dan berbagi kesenangan akan bertambah 2xnya.” Dan emang bener itu yang gue rasain tiga tahun ke belakang ini. Gue inget banget kata-kata dia di taman waktu itu setelah kami jadian, “悲しいことがあったら話してね”, “kalau sedih cerita ya..” waktu itu gue ngerasa tenang banget. Akhirnya ada seseorang yang bisa gue ceritain semua kesedihan gue. Dalam hati gue, "God, I found her".

Sekarang pertanyaannya kenapa gue bisa bertahan selama ini sama dia? hm.. kenapa ya. Mungkin yang membuat kami bertahan sampai sejauh ini, justru bukan karena semua kesenangannya, tapi lebih karena kesulitan yang telah kami hadapi bersama. Kita dapat menemukan siapa pun untuk diajak bersenang-senang bersama, tapi mencari seseorang untuk diajak berjuang menghadapi kesulitan bersama itu bukan hal yang mudah. Pada saat itulah sosok sejati sebuah cinta dapat terlihat. Oleh karena itu, gue dan dia sama-sama sadar kalau kami udah saling menemukan, udah terlalu lelah mencari, yang kami perlu lakukan hanya tinggal saling menjaga dan membahagiakan. Pada akhirnya, gimana pun sulitnya jalan yang akan gue tempuh di depan sana, gue tetap lebih milih untuk menjalaninya berdua. Bersama teman. Ya, teman hidup.


Lupa sesuatu: soal kenapa bisa ada balon di tas gue sebelum gue nembak dia, lebih baik kalian jangan tahu.. hm.. jangan.

Happy Anniversary Dear ラブラブ^^

Minggu, 28 Februari 2016

Kangen Kita yang dulu

Kangen Kita yang dulu

Hari ini gue ketemu cewe gue. Udah seminggu gak ketemu. Sejak dia kerja kami jadi jarang ketemu. Paling banter juga seminggu sekali. Ketemu sama dia jadi hal yang mahal banget rasanya sekarang. Tapi sebelnya, justru pas ketemu malah suka berantem. Gue juga gak ngerti. Rasanya selalu aja ada masalah. Dulu gak kaya gini. Ya, dulu sebelum LDR. Akhirnya gue ngerasain gimana pacaran jarak jauh alias LDR (T_T). Mungkin bagi sebagian orang LDR itu hal yang biasa dan mudah diatasi. Tapi bagi gue yang selalu terbiasa dekat sama dia lalu tiba-tiba LDR itu rasanya shock banget.

Gue kangen waktu dia masih kuliah dulu. Guenya ma sekarang masih kuliah. Jadi ceritanya gue pacaran sama kakak tingkat. Dulu waktu dia masih ngampus, tiap hari kami ketemu. Ya kecuali kalau dianya gak ada jadwal. Kalau gue kan ngekos dekat kampus jadi walaupun gak ada jadwal kuliah tetap bisa nyengajain ngampus cuma buat ketemu dia. Kalau sekarang kan jauh. Walaupun gue lagi kosong juga susah buat datengin dia. Lagian dianya sibuk ngantor pula dari senin sampai jumat. Akhirnya Cuma bisa ketemu weekend. Ditambah lagi katanya dia butuh waktu sama keluarganya juga, jadi dikurangin lagi sehari jatah ketemu gue. Akhirnya Cuma sehari gue bisa liat muka dia. Huhuhu. Mungkin ini inti masalah couple LDR itu, “komunikasi” yang menyebabkan masalah-masalah lain bermunculan. Jam ngantor dia tiap weekday dari jam 7.30 pagi sampe jam 5 sore. Belum lagi yang bikin sakitnya dia selalu lembur sampe sekitaran jam 7 atau 8 malem. Terus nih pas dia udah balik kosannya kan udah cape. Akhirnya sudahlah, tinggal ucapan selamat tidur. Emang ga setiap hari kaya gitu tapi tetep aja lebih seringnya kaya gitu. Akhirnya lama-kelamaan komunikasi kami berkurang. Terus muncul deh si virus yang paling menyebalkan ini, virus yang sering banget muncul walau tak diundang. Virus “curigaan”. Ni virus kalau udah muncul udah deh, seru pokoknya berantemnya. Ping-pongnya makin dapet. Serasa acting drama korea. Tapi bukan bagian selatannya yang lucu-lucu, ini ma korea utara yang perangnya pake nuklir. Ah pokoknya heboh.

Gue kangen waktu dia masih kuliah dulu. Maaf ya kata-katanya diulang lagi. Habisnya gak ada kata-kata lain yang bisa gue ungkapin selain itu. Kalimat itu yang paling ngegambarin perasaan gue akhir-akhir ini. Kalau gue lagi di kampus, makan siang sendirian (sama temen sih) tetep aja kerasa sepi. Balik sendirian (sama temen sih) tetep aja sepi. Kalau ngobrol atau becanda-becanda sendirian (gak mungkin sendiri, udah gila kali) tetep aja sepi. Biasanya makan berdua, ada yang sapuin (suapin kali). Pulang berdua, beli seblak favorit bareng (kami berdua suka seblak tapi gak suka pedes(gakpenting)). Ngobrol berdua, becanda sampe guling-guling di rumput (bodo amat) dan ngelakuin hal-hal bodoh lainnya. Gue kangen kalau datang pagi ke kampus liat dia lagi duduk depan kantor TU sambil nunggu dosen. Ngeliat wajahnya dari jauh aja bikin gue senyam-senyum sendiri. Terus mau ke toilet malah muter gpp yang penting bisa lewat depan kelas dia. Hal-hal kecil kaya gitu yang justru bikin gue kangen. Kadang hal kecil yang selalu terulang dalam hidup kita itu bukan lagi jadi hal yang sederhana, karena yang kecil-kecil itu justru yang ngisi sudut-sudut sempit dalam hati dan ngebuat jadi penuh. Ya ini sih versi lebaynya. Tapi da gimana atuh, namanya juga cinta bro. Bukan cinta kalau ga lebay. Bukan lirik lagu kalau ga lebay (artikel ilmiah kali bang).

Kesimpulannya sampai sekarang gue masih belum nemu jalan keluar atas semua pertengkaran LDR ini. Masih banyak factor yang memungkinkan dari hanya sekedar masalah “komunikasi”. Berhubungan dengan sesuatu yang lebih dalam, yang lebih mengakar, yang lebih krisis dari fondasi sebuah hubungan, seperti “kepercayaan”. Itu yang sedang gue pelajari. Apa berarti gue ga percaya? Entahlah, bisa ya bisa tidak, atau bisa sudah atau belum. Cinta kan juga mendewasa, mengikuti sang majikannya. Yang pasti, gue pikir setiap orang pernah ngerasain hal kaya gini. Ngerasain dimana kita begitu rindu akan satu keadaan yang udah nyaman banget bagi kita. Orang bilang itu comfort zone. Ya, zona nyaman yang bikin kita males buat beranjak. Yang bikin kita takut kalau harus mencium bau-bau perubahan. Padahal kita sadar bahwa keadaan itu gak akan berlangsung selamanya, tapi khayalan kita selalu pengen waktu berhenti dan diam di situ. Terus main dan laluin hari-hari sama orang-orang yang udah klop banget sama kita. Padahal masih ada masa depan yang nunggu kita. Orang-orang baru yang nungguin kita. Lingkungan baru yang menyambut kita. Seperti gue yang udah nyaman dengan kuliah gue sekarang. Gak mau lulus dan masuk alam selanjutnya alias dunia kerja. Tapi da gimana lagi atuh yah (sunda pisan euy), Life must keep going on guys.

Cinta itu kaya iman, gak akan dipercaya kalau gak diuji. Karena itu gue yakin, akan selalu datang masa-masa sulit kaya gini. Setelah gue lepas dari ujian ini, bakal banyak ujian-ujian lain yang menunggu. Namanya juga manusia, masalah itu makanan sehari-hari. Rasanya ga adil kalau gue Cuma bahagia di saat hidup gue mudah doang. Rasanya sedih juga kalau gue harus nunggu sampai masa-masa sulit selesai buat bahagia. Kalau orang bilang “life is choice”, berarti “happiness is choice” juga dong. Akhirnya, yang sekarang berusaha gue lakuin bukan sabar, tapi menikmati. Mungkin bisa nambah kosakata baru juga tentang apa itu bersyukur: “menikmati dalam sabar”. Like my friend always says, “Lakukan saja”. Kita perlu merasa lebih buruk untuk merasa lebih baik, Itulah perubahan. Itu buat gue sedikit optimis. Ini yang gue pengen dia mengerti juga. Karena bisa jadi, mungkin sebetulnya, yang gue kangenin itu bukan momen waktu dulu kuliah bareng dia, bukan momennya. Tapi kebahagiaannya.

Minggu, 21 Februari 2016

Derita Mahasiswa Sastra Jepang

Ini tulisan gue sesi “Derita Mahasiswa Sastra Jepang”
Episode #1

Pernah gak sih kalau kalian ditanya orang, entah sepupu, tetangga, teman sekolah dulu, “eh lu kuliah jurusan apa?” terus kan kalian jawab “sastra”. Lalu orang yang tanya tadi Cuma jawab “oh..” terus abis itu dengan berusaha antusias dia tanya lagi “sastra Inggris?”, terus kita jawab “bukan, sastra Jepang”, dan dia pun cuma bilang “oh..” lagi, dengan nada seperti kecewa dan muka yang keliatan males. Pernah waktu itu hari minggu yang cerah, gue bangun dengan semangat lalu keluar buat cari makan. Terus gue beli nasi kuning di deket kosan. Pas gue lagi nungguin pesenan, bapa amang nasi kuningnya tanya gue, “kuliahnya jurusan apa dek?”. Terus gue jawab “sastra Jepang pak”. Terus dia memandang gue bentar lalu dengan senyum yang agak dipaksakan menjawab, “oh.. iya gpp”. Eh buset, apa itu maksudnya.

Entahlah, gue sering berpikir apa gue salah masuk gitu ya. Coba kita puter mesin waktunya dulu. Dulu gue punya grup main bareng di SMA. Jumlah kami 5 orang. Sekarang Semuanya kuliah di jurusan IPA. Ada yang teknik, perkapalan, dokter hewan. Gue doang yang nyasar jadi ke sastra. Sebetulnya sih, dulu itu gue inginnya masuk perhutanan di IPB. Padahal di SMA, gue jurusan IPA tapi gak tahu rasanya walaupun otak gue lebih ke IPA tapi jiwa gue itu IPS. Akhirnya waktu itu gue bertekad pokoknya pengen masuk IPB perhutanan. Pengen jadi pengusaha kayu kayanya. Walaupun gak tau apa-apa soal pohon. Disuruh bedain pohon jambu aja gue ketuker sama pohon apel. Tapi yang ngenesnya itu, gue coba 3 kali buat masuk jurusan itu, mulai dari tes snmptn, sbmptn, sampai gue datengin langsung itu kampusnya buat ujian mandiri. Dan gue tetap ga lulus. Di situ gue down dan putus asa. Di tengah keterpurukan itu, gue denger ada pembukaan pendaftaran masuk unpad. Gue iseng aja daftar, coba-coba. Tapi yang namanya lagi down udah pasrah, gak tahu mau milih jurusan apa. Entah kenapa waktu gue liat list jurusannya, cuma ada satu jurusan yang konek ke mata gue. Sastra Jepang. Lalu tanpa mikir langsung aja gue ceklist. Terus beberapa hari kemudian ada pengumuman kalau gue lulus di sastra Jepang unpad. Dan akhirnya, hari ini, di sini lah gue berada. itu lah sejarahnya kenapa gue bisa masuk jurusan sastra Jepang. Dan saat gue ditanya “kenapa masuk sastra Jepang?”. “gak tahu”, Cuma itu yang bisa gue jawab.

Sekarang gue sudah semester 7, lagi nyusun skripsi. Kalau gue inget-inget sejarah bagaimana gue bisa masuk sini sih lucu juga. Selama hampir 4 tahun kuliah di sastra Jepang ini, banyak yang udah terjadi, mulai dari nemu mimpi sampai nemu jodoh. Banyak yang udah berubah. Dan yang penting, jawaban “gak tahu” saat ditanya “kenapa masuk sastra Jepang?” yang dulu itu mulai berubah sekarang. Mulai bertambah dan berganti dengan kata-kata yang sedikit lebih panjang. Ini adalah cerita sederhana gue, si mahasiswa sastra Jepang.

Minggu, 17 Januari 2016

Night Walker

NW
“Night Walker”


Kata orang, dari setiap cerita yang kita dengar setidaknya ada satu hal baru yang bisa dipetik. Apa ini berlaku untuk cerita ini? Yah, Kita lihat saja. Ini mungkin salah satu pengalaman tergokil, seru, konyol, dan gak jelas saat gue kuliah. Hari di mana ulang tahun gue dilewati dengan cara yang gak biasa.

Malam itu, adalah malam Jumat. Gue dan tujuh orang teman gue, berjalan melewati gerbang PSBJ di tengah malam. Kami juga gak ngerti kenapa agenda malam itu bisa berujung uji nyali. Beberapa jam sebelumnya gue dan para bocah itu hanya asyik makan, nonton, dan gosip-gosip soal cewek. Tapi pada akhirnya inilah yang terjadi.

Tepat pukul 12.00 malam kami memasuki kawasan PSBJ. Sekedar informasi, PSBJ adalah singkatan dari Pusat Studi Bahasa Jepang yang berlokasi di dalam kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor. Katanya bangunan ini tempat paling menyeramkan di Universitas gue. Banyak banget cerita penampakan yang kerap kali muncul di sini. Kami terbagi menjadi dua tim. Tim gue berjalan melewati sudut sebelah kiri menuju belakang aula dan terus memutari PSBJ melalui kantin. Tim yang lain menuju arah sebaliknya melawati lorong belakang kelas dan menaiki tangga menuju perpustakaan. Akhirnya setelah bersiap-siap, kami berangkat.

Suasana PSBJ saat itu hening banget. Tinggal gue bersama tiga orang dalam tim gue. Hanya suara langkah kami berempat yang mengisi gaung-gaung di sepanjang perjalanan malam itu. Kami bisa merasakan nafas kami yang berat saat memperhatikan setiap sudut bangunan yang gelap. Seakan ada sesuatu yang memperhatikan dari balik kegelapan itu. Semua ketegangan itu membisukan mulut-mulut kami. Melihat kelas-kelas yang biasanya ramai, berubah seketika menjadi ruangan yang horor. Rasa penasaran membimbing gue untuk coba mengintip lewat jendela. Dengan menempelkan sebelah kanan telapak tangan di kaca jendela yang dingin, gue mendekatkan wajah sampai hidung gue bisa merasakan aroma embun yang menempel pada kaca. Mata gue menyusuri seisi ruangan. Lampunya mati, jadi hanya bagian luarnya saja yang terlihat karena ter sinari oleh lampu dari teras kelas. Gue berusaha fokus pada bagian tengah ruangan yang sangat gelap. Waktu itu entah apa yang gue harapkan, atau gak gua harapkan untuk dilihat. Fuhh. (untungnya gak ada yang nemplok tiba-tiba di kaca), (karena pernah kejadian).  Waktu pun berlalu, di tengah perjalanan tiba-tiba keheningan selama itu pecah oleh suara teriakan dan deru langkah kaki-kaki yang berlari-lari. Kami terkejut sampai ikut berteriak dan berlari tanpa tahu sebabnya. Dari kejauhan kami melihat tim yang lain sedang berlari kembali menuju gerbang. Kami pun mengikuti mereka sampai akhirnya semua tiba di gerbang PSBJ, dengan nafas terengos-engos. Salah satu teman gue berwajah sangat pucat. Ia terlihat berusaha sangat keras untuk berbicara dengan terbata-bata. Setelah keadaan semua orang cukup tenang, ia menceritakan kepada kami bahwa ia melihat sebuah bayangan di balik kaca perpustakaan. Kami semua tersentak kaget. Jantung kami seakan berhenti berdenyut beberapa saat. Sampai teman kami berbicara bayangan itu berwarna biru. Lalu kami semua tertawa. Sepertinya itu hanya pantulan bayangan baju biru yang dikenakannya sendiri.

Akhirnya gue dan temen-temen memutuskan untuk pergi meninggalkan PSBJ. Dalam perjalanan, karena udah tanggung, sekalian kami mengelilingi seluruh kampus sambil jalan-jalan di malam hari itu. Ternyata gak ada yang perlu kami takutkan (walaupun di sepanjang jalan temen gue yang satu selalu cerita-cerita mistis setiap kami pindah tempat). Gak ada hal aneh yang terjadi. Semua berjalan dengan wajar. Sebelum keluar dari kampus kami semua berfoto di sebuah bunderan di perempatan jalan dalam kampus. Akhir perjalanan malam itu pun berujung di sebuah jembatan tua di Jatinangor bernama “Jembatan Cincin”  (katanya ini juga salah satu tempat paling angker di Jatinangor).

Kami merasa benar-benar lelah dan lapar. Akhirnya kami pesan makanan, dan makan bersama di tengah Jembatan Cincin (buset motor abang nasinya nganterin ke tengah jembatan). Kami pun makan dengan lahap (dengan lapar lebih tepatnya). Setelah perut terisi penuh mata pun mulai berat,  kami tidur di sana. Gue termenung. Hening. Hembusan angin menerpa kulit tangan gue yang dingin. Melihat langit hitam yang sangat luas dengan taburan bintang yang berkelap-kelip (sebenernya ga juga sih). Namun yang pasti, bersama tujuh teman baik. Di atas jembatan tua. Melewati perjalanan malam yang panjang. Itu momen yang euhh banget. Hari yang gak akan gue lupa.

Akhirnya semua bangun (untung gak terus tepar sampe diinjek orang lewat). Pagi itu kami nunggu fajar terbit dari atas jembatan. Gue menghitung mundur sampai beberapa kali karena gak muncul-muncul juga itu mentari. Hingga akhirnya nongol juga. Matahari pertama gue di usia delapan belas tahun. Hm, hangat. Silau. Serasa memberi gue semangat baru untuk satu tahun yang lebih baik di tahun ini. Thanks guys. Gue akan menjaga kenangan ini sampai tua nanti.

Beberapa hari setelah itu. Ada hal aneh terjadi. Kami melihat foto kami di bundaran waktu itu. Sebuah bayang biru menyerupai wajah perempuan dengan rambut yang panjang terpampang jelas tepat depan muka gue, muncul tiba-tiba di foto itu.

*lain kesempatan gue share fotonya

*“NW/Night Walker” diambil dari nama grup kami berdelapan buat malam itu

Kamis, 14 Januari 2016

The Forest_Sinopsis

       Ini adalah sinopsis salah satu cerpen yg pengen gue buat. Ceritanya mulai tertarik sm dunia tulis-menulis nih haha. Tapi pada intinya tetap ingin berbagi. Hanya sedang explore metode-metode baru aja. Semoga menginspirasi ^^. Kalau ada masukan bakal seneng banget. Maklum amatiran maafin hehe.

THE FOREST

SINOPSIS

     Peter adalah seorang anak yang duduk di bangku SMP kelas 2. Bersama adiknya Max, dan ayahnya, mereka bertiga tinggal di pusat kota New York. Saat itu, New York sudah menjadi kota yang benar-benar maju dalam bidang teknologi. Semua sarana dan prasarana di sana sangat canggih. Taman-taman di kota pun berubah menjadi tempat-tempat wisata modern. Namun dalam hiruk pikuk kehidupan yang serba canggih itu, Peter merasakan kebosanan. Keseharian yang dilakukan Peter dan orang-orang di kota tersebut seakan monoton. Sampai tiba-tiba ayah Peter mengajak Peter dan Max pindah rumah ke luar negeri karena urusan bisnis sang ayah untuk beberapa tahun ke depan. Akhirnya mereka pun pindah ke Jepang.

    Di sana mereka pindah ke sebuah desa di pinggir kota. Keadaan lingkungan yang sungguh berbeda. Pemandangan yang belum pernah Peter dan Max lihat selama mereka tinggal di New York. Jalanan yang sepi. Pohon-pohon di sepanjang jalan. Sungai yang jernih. Sebuah pemandangan alam yang masih asri. Di sana Peter dan Max pindah ke sebuah sekolah yang tak jauh dari rumah baru mereka. Di kelas barunya, mereka bertemu dengan teman-teman pertamanya, Ken dan adiknya Rika.

Rumah Ken dan Rika ternyata tidak jauh dari rumah Peter dan Max. Mereka mulai akrab dan sering bermain bersama. Suatu hari, seusai pulang sekolah mereka berempat bermain terlalu jauh sampai hampir memasuki sebuah hutan tak dikenal. Ken dan Rika yang merupakan penduduk local di situ tahu akan bahaya yang mungkin menyerang mereka. Saat Ken akan melarang Peter memasuki hutan tersebut, Peter melihat seorang anak perempuan di dalam hutan tersebut. Saat Peter mencoba mendekatinya, anak perempuan itu pergi. Peter pun berlari berusaha mengejarnya. Yang terpaksa diikuti oleh Ken, Rika, dan Max. Tanpa sadar mereka telah memasuki hutan terlarang tersebut. Mereka pun tersesat. Namun rasa penasaran yang kuat keempat anak-anak itu mengalahkan rasa ingin pulang mereka. Rasa ingin tahu tentang apa yang sebetulnya ada dalam hutan tersebut menuntun kaki mereka melangkah lebih dalam. Sampai mereka menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan di dalam sana, yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, yang ternyata tidak seperti Ken dan Rika anggap selama ini. Dan anak perempuan yang dilihat Peter, Megumi, akhirnya menjadi teman paling berharga yang pernah ada, yang tak pernah terlupakan oleh mereka berempat.