PILIH DUNIA ATAU
AKHIRAT?
Pilih dunia atau akhirat?
Pertanyaan yang agak sedikit konyol menurut saya. Maaf
bila terdengar sedikit keras, tapi saya akan coba menjelaskannya dengan
perlahan.
Sebetulnya sudah lama saya memahami konsep ini. Namun,
selama ini saya menyimpannya hanya untuk diri sendiri, karena saya khawatir
orang lain tidak akan bisa mengikuti karena penjelasan saya yang kurang baik,
atau mungkin karena saya terlalu egois dan rakus untuk menikmatinya sendiri.
Oleh karena itu saya putuskan untuk membagikannya. Semoga bisa menginspirasi.
Pilih dunia atau akhirat?
Pertanyaan semacam itu yang seringkali seorang pemuka
agama lontarkan dalam kebanyakan materi pencerahannya saat mencoba mengajak
audience-nya menjadi seorang pribadi yang lebih taat, saat mencoba menunjukkan
bahwa dunia ini adalah sesuatu yang seakan kotor, dan akhirat adalah tempat
satu-satunya yang harus kita perjuangkan. Kalimat seperti ''dahulukan akhirat,
dunia ini hanya sementara.'', atau ''jangan melulu mengurusi dunia, akhirat itu
lebih penting.'' Telah berhasil mengukir guratan yang cukup membekas dalam
benak generasi kita sekarang. Tidak ada yang perlu disalahkan, ini hanya soal
fenomena alam di mana generasi yang baru selalu mendawasa bersama dominasi
pemikiran generasi sebelumnya. Karena yang menjadi masalah sekarang adalah
apakah sang genarasi muda ini akan tinggal diam begitu saja dijejali oleh semua
warisan pemikiran itu? Tulisan ini akan mencoba membongkar paradigma tersebut.
Baik disadari maupun tidak, statement-statement tersebut
mencerminkan pemikiran yang mangatakan bahwa dunia dan akhirat adalah dua hal
berbeda yang harus kita pilih. Seolah kita harus selalu mendahulukan urusan
akhirat ketimbang dunia. Namun apakah memang seperti itu?
Pertanyaannya sekarang adalah ''Apakah kita akan sukses
di akhirat dengan melupakan kehidupan dunia?'' Coba jawab. Tentu tidak bisa,
bukan. Akhirat tidak lebih penting dari dunia, dunia tidak sama pentingnya
dengan akhirat, dunia lebih penting dari akhirat. Ya, saya ulangi.
Dunia masih lebih penting daripada akhirat.
Kalimat itu yang menjadi headline tulisan ini.
“Apa yang kau tuai hari ini adalah yang kau tanam kemarin”
Kalau begitu hari ini pun kita juga sudah dapat memperkirakan bukan apa yang
akan besok kita tuai. Begitu pula soal kehidupan dunia dan akhirat. Bagaimana
bisa kita berharap selamat di akhirat bila di dunia kita berlaku buruk?
Bagaimana bisa kita meminta surga di akhirat bila di dunia kita berkawan dengan
kejahatan? Itu artinya apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia yang sekarang
ini masih lebih penting daripada tujuan kita di akhirat nanti. Yang kita
lakukan hari ini masih lebih berharga daripada keinginan kita di hari esok.
Usaha kita di masa ini masih lebih menentukan daripada mimpi-mimpi besar kita
di masa depan. Saya tidak mengatakan bahwa tujuan akhir tidak penting, yang
ingin saya tekankan adalah bahwa prosesnya masih lebih penting daripada
hasilnya. Proses yang baik tentu akan memberikan hasil yang baik pula. Harapan
dan keinginan itu hanya akan menjadi ruang kosong, mimpi-mimpi besar itu
sekedar akan menjadi kerlipan bintang-bintang penghias langit saja, kecuali
kita buktikan bahwa itu bukan hanya sekedar omongan. Dan di sinilah tempat di
mana kita akan membuktikan semua itu, kehidupan di mana kita akan memperjuangkan
tujuan kita di akhirat kelak, yaitu dunia.
Anggapan yang seringkali orang pikirkan adalah bahwa
dunia dan akhirat merupakan dua buah jalan yang berlawanan. Saat kita memilih
jalan yang satu, maka otomatis kita akan menjauhi jalan yang lainnya. Padahal
pada kenyataannya tidak seperti itu. Dunia dan akhirat adalah satu jalan yang
saling terhubung.
Dunia dan akhirat adalah satu line yang membentang lurus
dalam dimensi waktu kehidupan manusia. Kita tidak bisa begitu saja berharap
tiba di akhirat tanpa melewati dunia (Kecuali kita korban aborsi). Dunia adalah
proses yang harus dilalui. Sementara akhirat adalah hasil yang akan diterima.
Sebagaimana yang kita semua tahu, proses itulah yang menentukan bagaimana nanti
hasilnya. Oleh karena itu, proses lebih penting daripada hasil. Dalam kasus ini
bekerja hukum sebab-akibat, di mana segala perilaku kita di dunia ini menjadi
penyebab dari akibat yang akan kita terima di akhirat nanti.
Efeknya, paradigma mengenai pemisahan antara dunia dan
akhirat itu membuat adanya diskriminasi ibadah yang kita lakukan sehari-hari.
Dengan dasar pemikiran yang seperti itu menjadikan kita menjalani kehidupan di
mana orang-orang di sekitar kita mengatakan bahwa shalat adalah urusan akhirat
dan bekerja adalah urusan dunia, bahwa belajar ilmu agama adalah urusan akhirat
dan belajar ilmu fisika adalah urusan dunia, di mana mereka yang dipandang
sholeh dan bertakwa tak lain ialah mereka yang selalu mengerjakan urusan
akhirat.
Padahal tidak ada hukum yang menyatakan perbedaan ibadah
dunia atau akhirat, yang ada hanyalah ibadah pada Tuhan. Shalat adalah ibadah
pada Tuhan, bekerja pun sama. Belajar Ilmu agama adalah ibadah pada Tuhan,
belajar ilmu fisika pun sama. Sekalipun ingin dibedakan, itu hanya perkara
''langsung'' atau ''tidak langsung''. Shalat merupakan ibadah yang langsung
berhubungan dengan Tuhan, merupakan kegiatan individual yang tak menyangkut
manusia lain. Sementara bekerja adalah ibadah tidak langsung. Walaupun kita
bekerja dengan atasan kita dan bertujuan untuk memuaskan klien dan konsumen
namun apabila kita telusuri semua aktivitas tersebut, pada ujungnya kita akan
sampai pada simpulan bahwa pekerjaan yang kita lakukan adalah bentuk ibadah
kita pada Tuhan. Memang sulit untuk mencapai pemahaman pada level tersebut, diperlukan
pengalaman melatih hati dan pikiran agar niat dan jalannya sesuai. Coba
perhatikan contoh kasus tersebut.
Ari bekerja pada sebuah perusahaan manufaktur perakitatan
mobil milik Jepang di indonesia. Ia dianuherahi untuk memegang tanggung jawab
sebagai General Manager dalam berkontribusi demi pembangunan perusahaan. Tugas
Ari adalah menjaga agar kesetabilan supply, produksi, dan penjualan terkendali
dengan baik. Ia membuat rangkaian proses bisnis itu terus berjalan. Hasilnya,
perusahaan mampu menghasilkan ribuan unit mobil yang siap dinikmati oleh
masyarakat. Bapak Arief salah satunya. Ia beserta istri dan keluarganya pergi
mudik untuk bersilaturahmi menuju kampung halamannya menggunakan mobil yang
perusahaan Ari produksi. Bukankah itu sebuah ibadah? Bayangkan bila Ari malas
bekerja lalu siklus produksi terganggu dan keluaran mobilnya menjadi jelek dan
tak dapat digunakan oleh Pak Arief untuk mudik? Bukankah itu bernilai sebuah idabah saat kita dapat
membantu orang lain? Saat kita bermanfaat bagi orang lain?Terlepas dari apa yang Pak Arief lakukan untuk
menggunakan mobil itu, apakah untuk kebaikan atau keburukan itu urusannya
dengan Tuhannya sendiri. Hal yang terpenting di sini adalah Pak Ari telah
berhasil menyumbangkan keberadaannya bagi kebaikan orang lain dengan
pekerjaannya. Tuhan tidak mungkin menurunkan malaikatnya langsung untuk
mengantarkan Pak Arief dan keluarganya bermudik ria. Pak Ari adalah
perpanjangan tangan Tuhan yang diutus untuk itu.
Tidak ada istilah urusan dunia atau urusan akhirat. Semua
urusan kita adalah untuk akhirat, yang dilakukan di dunia. Dunia lebih penting
daripada akhirat karena dunia lah tempat kita beribadah, bukan di akhirat.
Anggapan bahwa segala urusan akhirat adalah sesuatu yang selalu bermula dari
konten ''agamis'' adalah sebuah stereotip yang salah arah. Ceramah seorang
ustad di atas mimbar shalat Jumat yang membuat ma'mumnya insyaf adalah sama
ibadahnya dengan seorang vokalis band yang melantunkan lirik lagunya dalam
sebuah konser dan membuat para penonton kembali bangkit dari kegagalannya.
Seorang santri yang belajar ilmu tajwid dalam membaca Al-Quran di pesantren
sama ibadahnya dengan seorang mahasiswa akhir yang sedang berlari-lari mengejar
acc skripsi dosen pembimbingnya di kampus. Ibadah itu hadir dalam beragam
bentuk. Perkaranya ada pada pola pemikaran kita. Ketika kita mampu meniatkan
diri untuk ikhlas bahwa semua yang kita lakukan (termasuk bekerja) adalah ibadah
kepada-Nya, itu akan meningkatkan keimanan kita pada pencipta kita. Insyaallah
hal itu akan Ia perhitungkan sebagai komponen yang akan ikut andil dalam
memberatkan timbangan kebaikan kita di hari akhir nanti.
Simpulannya adalah, tidak ada pembedaan antara urusan
dunia dan akhirat. Semua aktifitas baik sekecil apapun di dunia ini dapat
bernilai ibadah tergantung bagaimana niat dan cara yang kita pilih. Ibadah
adalah segala macam bentuk perilaku baik dengan niat pengabdian pada Tuhan
dengan jalan menyejahterakan pribadi sendiri, sesama, dan alam.
Saya yakin, yang selama ini disampaikan para pemuka agama
itu tidaklah berbeda. Hanya mungkin, selama ini kita kurang mendapatkan
penjabaran yang lebih detil saja. Semoga tulisan ini bisa membantu, merangsang,
dan menginspirasi kita semua untuk belajar lebih dalam. Mari kita sama-sama
tingkatkan ketakwaan kita dengan sebenar-benarnya iman yang dibantu dengan
pikiran yang baik.
Jadi, pilih dunia atau akhirat?
Itu bukan pilihan. Dunia adalah tempat
saya memperjuangkan akhirat.