Jumat, 13 November 2015

Kehilangan

Kehilangan

Ini kejadian paling mengerikan dan menakutkan sepanjang hidupku. Kejadian ini pengalaman pertama bagiku. Pengalaman berharga yang tak akan pernah terlupakan.

Aku memiliki seorang adik laki-laki. Umurnya sekitar delapan tahun. Ia adik paling nakal yang  kumiliki. Di rumah ia selalu saja membuat keributan yang membuat orang serumah jengkel. Bisa dibilang adikku yang satu ini si pembuat onar. Banyak sekali sejarah kekacauan di rumah yang telah ia ciptakan. Seperti robohnya garasi, kebakaran kursi, dan lain-lain. Rumah kami didatangi banyak tetangga karena kenakalannya, dan itu hal yang sudah biasa bagi keluarga kami setiap harinya. Adikku yang satu ini juga paling malas sekolah, ia pergi ke sekolah hanya untuk membeli mainan dan binatang peliharaan yang hanya akan bertahan satu hari. Ikan, keong laut, kura-kura, ayam, bahkan sampai kelinci pernah menjadi korbannya. Hampir setiap kasus yang terjadi ia selalu disalahkan sebagai tersangkanya. Sehingga selalu saja ia yang kami sekeluarga marahi, dan terkadang dibenci, olehku. Namun, satu kejadian ini membuatku sadar dan merubah apa yang selama ini aku lihat.

 Aku seorang mahasiswa di universitas negeri yang berkampus di Jatinangor-Sumedang. Dalam beberapa kesempatan aku biasa pulang ke kampung halamanku di Sukabumi. Pada satu waktu aku pulang ke rumah, saat itu hanya ada adikku di rumah. “si pembuat onar”. Seperti biasa, dia sedang mencorat-coret tembok ruang tv waktu itu. Lalu aku pun memarahinya dan menyuruhnya bermain di luar saja. Setelah melewati beberapa ronde debat akhirnya ia pun menyerah dan pergi keluar. Beberapa jam kemudian waktu pun berlalu, ia tak kunjung pulang juga. Rasa kesalku lama-kelamaan berubah menjadi khawatir, saat tiba-tiba seorang anak datang berlari ke dalam rumah dengan wajah yang cemas sambil berkata, “Kak! Itu kak!” anak itu mulai berteriak padaku. Aku merasakan hal yang tak beres terjadi, aku pun bergegas berlari keluar rumah dan mendapati adikku di ujung jalan sedang terpoyong-poyong berjalan ke arahku sambil memegangi kepalanya. Di sela-sela jarinya mengalir deras carian kental berwarna merah segar yang berakhir pada tetesan di ujung sikutnya. Ia tak menangis, tak berteriak, diam tanpa suara. Wajahnya pucat, matanya sedikit sayu, mulutnya terbuka sampai hanya terlihat sedikit ujung giginya. Terlalu cepat untuk bisa dimengerti dan dirasakan olehnya. Aku terdiam waktu itu, beberapa detik kemudian aku gendong ia dan berlari mencari pangkalan ojeg terdekat. Waktu itu jalanan sepi. Aku terus berlari tanpa alas kaki di atas aspal panas yang tak dapat ku rasakan sedikit pun. Aku hanya melihat ke depan, aku dapat merasakan lemasnya tubuh adikku, kaosnya yang basah dan sedikit lengket membasahi tanganku juga. Tanpa perlu melihatnya aku terus berlari sampai menemukan pangkalan ojeg di ujung belokan. Aku diantar menuju klinik terdekat. Namun terpaksa aku harus bergegas pergi ke rumah sakit besar karena yang terjadi pada adikku di luar batas penanganan dokter klinik tersebut. Akhirnya aku tiba di rumah sakit dan menggendongnya ke instalasi gawat darurat. Beberapa perawat datang dan menyiapkan kasur bedah. Berselang beberapa menit yang kulakukan hanya terus memegangi tangannya menahan agar ia tak menyentuh kepalanya yang sedang dijahit. Ia tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku terus melihat matanya dan berkata “Gak apa-apa” “Gak apa-apa”. Sekitar setengah jam berlalu, aku tak tahu pasti. Itu terasa seharian bagiku, bertahan dalam ketakutan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Akhirnya dokter dan para perawat itu pergi. Enam belas jahitan, sebesar telunjukku.

Beberapa jam kemudian, keluargaku datang. Aku menceritakan semuanya. Aku takut. Takut sekali. Setelah hari itu aku sadar, seberapa pun aku membencinya, kesal padanya, marah, ia tetap adikku. Adik yang kadang membuatku tertawa karena kenakalan-kenakalannya, adik yang membuatku semangat untuk mengejar mimpi-mimpiku. Adik yang aku sayangi.

Kita tak akan pernah menyangka betapa sebenarnya kita menyayangi orang-orang yang selama ini ada di dekat kita. Keluarga, teman-teman, sahabat, kekasih. Yang ikut mengisi hari-hari kita hingga sampai hari ini. Yang ada untuk kita saat sedih dan senang. Memang betul mereka tak selalu membuat kita bahagia, ada kalanya menyulitkan, memalukan, membosankan, bahkan membuat kita ingin membenci mereka. Tapi itu semua tak membuat mereka menjadi tak berharga lagi. Cobalah lihat mereka sekali lagi, perhatikan ketika mereka tersenyum, apa itu tak membuat kita bahagia juga. Perhatikan ketika mereka menangis, apa itu tak membuat kita sakit juga. Kita akan melihat apa yang tak terlihat. Percayalah, kita memang sungguh-sungguh menyayangi mereka.

Hari ini aku belajar satu hal. Mungkin yang orang-orang bilang itu betul, kadang manusia perlu menunggu kehilangan sesuatu untuk menyadari betapa berharganya sesuatu tersebut. Aku bersyukur, aku tak harus mengalami kehilangan itu dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar