Kehilangan
Ini
kejadian paling mengerikan dan menakutkan sepanjang hidupku. Kejadian ini
pengalaman pertama bagiku. Pengalaman berharga yang tak akan pernah terlupakan.
Aku
memiliki seorang adik laki-laki. Umurnya sekitar delapan tahun. Ia adik paling
nakal yang kumiliki. Di rumah ia selalu
saja membuat keributan yang membuat orang serumah jengkel. Bisa dibilang adikku
yang satu ini si pembuat onar. Banyak sekali sejarah kekacauan di rumah yang
telah ia ciptakan. Seperti robohnya garasi, kebakaran kursi, dan lain-lain.
Rumah kami didatangi banyak tetangga karena kenakalannya, dan itu hal yang
sudah biasa bagi keluarga kami setiap harinya. Adikku yang satu ini juga paling
malas sekolah, ia pergi ke sekolah hanya untuk membeli mainan dan binatang
peliharaan yang hanya akan bertahan satu hari. Ikan, keong laut, kura-kura,
ayam, bahkan sampai kelinci pernah menjadi korbannya. Hampir setiap kasus yang
terjadi ia selalu disalahkan sebagai tersangkanya. Sehingga selalu saja ia yang
kami sekeluarga marahi, dan terkadang dibenci, olehku. Namun, satu kejadian ini
membuatku sadar dan merubah apa yang selama ini aku lihat.
Aku seorang mahasiswa di universitas negeri yang
berkampus di Jatinangor-Sumedang. Dalam beberapa kesempatan aku biasa pulang ke
kampung halamanku di Sukabumi. Pada satu waktu aku pulang ke rumah, saat itu
hanya ada adikku di rumah. “si pembuat onar”. Seperti biasa, dia sedang
mencorat-coret tembok ruang tv waktu itu. Lalu aku pun memarahinya dan
menyuruhnya bermain di luar saja. Setelah melewati beberapa ronde debat
akhirnya ia pun menyerah dan pergi keluar. Beberapa jam kemudian waktu pun
berlalu, ia tak kunjung pulang juga. Rasa kesalku lama-kelamaan berubah menjadi
khawatir, saat tiba-tiba seorang anak datang berlari ke dalam rumah dengan
wajah yang cemas sambil berkata, “Kak! Itu kak!” anak itu mulai berteriak
padaku. Aku merasakan hal yang tak beres terjadi, aku pun bergegas berlari keluar
rumah dan mendapati adikku di ujung jalan sedang terpoyong-poyong berjalan ke arahku
sambil memegangi kepalanya. Di sela-sela jarinya mengalir deras carian kental
berwarna merah segar yang berakhir pada tetesan di ujung sikutnya. Ia tak
menangis, tak berteriak, diam tanpa suara. Wajahnya pucat, matanya sedikit
sayu, mulutnya terbuka sampai hanya terlihat sedikit ujung giginya. Terlalu
cepat untuk bisa dimengerti dan dirasakan olehnya. Aku terdiam waktu itu,
beberapa detik kemudian aku gendong ia dan berlari mencari pangkalan ojeg
terdekat. Waktu itu jalanan sepi. Aku terus berlari tanpa alas kaki di atas
aspal panas yang tak dapat ku rasakan sedikit pun. Aku hanya melihat ke depan,
aku dapat merasakan lemasnya tubuh adikku, kaosnya yang basah dan sedikit
lengket membasahi tanganku juga. Tanpa perlu melihatnya aku terus berlari
sampai menemukan pangkalan ojeg di ujung belokan. Aku diantar menuju klinik
terdekat. Namun terpaksa aku harus bergegas pergi ke rumah sakit besar karena
yang terjadi pada adikku di luar batas penanganan dokter klinik tersebut.
Akhirnya aku tiba di rumah sakit dan menggendongnya ke instalasi gawat darurat.
Beberapa perawat datang dan menyiapkan kasur bedah. Berselang beberapa menit
yang kulakukan hanya terus memegangi tangannya menahan agar ia tak menyentuh
kepalanya yang sedang dijahit. Ia tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku
terus melihat matanya dan berkata “Gak apa-apa” “Gak apa-apa”. Sekitar setengah
jam berlalu, aku tak tahu pasti. Itu terasa seharian bagiku, bertahan dalam ketakutan
yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Akhirnya dokter dan para perawat itu
pergi. Enam belas jahitan, sebesar telunjukku.
Beberapa
jam kemudian, keluargaku datang. Aku menceritakan semuanya. Aku takut. Takut
sekali. Setelah hari itu aku sadar, seberapa pun aku membencinya, kesal padanya,
marah, ia tetap adikku. Adik yang kadang membuatku tertawa karena
kenakalan-kenakalannya, adik yang membuatku semangat untuk mengejar
mimpi-mimpiku. Adik yang aku sayangi.
Kita
tak akan pernah menyangka betapa sebenarnya kita menyayangi orang-orang yang
selama ini ada di dekat kita. Keluarga, teman-teman, sahabat, kekasih. Yang ikut
mengisi hari-hari kita hingga sampai hari ini. Yang ada untuk kita saat sedih
dan senang. Memang betul mereka tak selalu membuat kita bahagia, ada kalanya
menyulitkan, memalukan, membosankan, bahkan membuat kita ingin membenci mereka.
Tapi itu semua tak membuat mereka menjadi tak berharga lagi. Cobalah lihat mereka
sekali lagi, perhatikan ketika mereka tersenyum, apa itu tak membuat kita
bahagia juga. Perhatikan ketika mereka menangis, apa itu tak membuat kita sakit
juga. Kita akan melihat apa yang tak terlihat. Percayalah, kita memang
sungguh-sungguh menyayangi mereka.
Hari
ini aku belajar satu hal. Mungkin yang orang-orang bilang itu betul, kadang
manusia perlu menunggu kehilangan sesuatu untuk menyadari betapa berharganya
sesuatu tersebut. Aku bersyukur, aku tak harus mengalami kehilangan itu dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar