Kamis, 17 Desember 2015

lebih Kecil dari Semut

蟻より小さい
lebih Kecil dari Semut

Seusai mandi di waktu yang sudah cukup malam. Di atas kasur tipis dalam kamar kecil dengan bersender pada tembok yang dingin. Aku Melamun. Saat sesuatu menggelitik tanganku. Seekor semut hitam kecil berjalan di atas punggung telapak tangan kiriku. Dengan refleks aku meniupnya. Saat Ia hampir terlempar, Ia meregangkan tubuhnya, memasang kuda-kuda dengan kaki-kaki kecilnya yang terlihat rapuh. Setelah angin melemah, Ia kembali mulai merangkak. Aku meniupnya lagi. Ia meregangkan tubuhnya, membuat kuda-kuda dengan kaki-kaki kecilnya. Lagi. Lebih kuat. Aku mulai tersadar dari lamunanku. Semut itu kembali memulai merayap, berputar-putar dikulit tanganku. Semakin lama, aku mulai dapat merasakan sentakan kaki-kakinya berjalan. Cukup bertenaga untuk seukuran kaki-kaki mungil seperti itu. Ia menggerak-gerakan antenanya yang sangat tipis, hampir tak terlihat jika ia tak menggerakkannya. Gerakannya seperti mencari sebuah sinyal. Atau sebuah lambaian tangan. Kelihatannya ia tersesat.

Hari itu adalah hari yang cukup berat. Terlambat ujian, uang makan habis, tugas akhir telat akibat laptop eror, dimarahi dosen, terguyur hujan akibat payung hilang. melelahkan sekali. Tetapi yang terburuk dari semua itu adalah tak ada seseorang yang dapat aku bagi dengan semua cerita itu. Dalam kelelahan, ditemani keheningan, tiba-tiba hampa. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku sering merasa seperti itu. Apa kalian juga pernah tiba-tiba merasakan sebuah kesepian yang sangat. Tiba-tiba merasa seorang diri. Merasa tiba-tiba ingin menangis tanpa tahu sebabnya. Saat tak seorang pun yang dapat menjadi tempat berbagi kita. Bahkan di tengah canda tawa, di tengah kerumunan lalu-lalang orang-orang, tiba-tiba perasaan itu muncul. Menyerang. Menguras semua hasrat dan ambisi. Memunculkan pertanyaan dalam benakku untuk apa aku berusaha sesusah payah ini. Membekukan semangat. Sampai rasanya lelah untuk menghela nafas sekali pun. Mengosongkan pikiran dan hati. Membuatku bertanya, apa lagi selanjutnya. Apa besok juga akan seperti ini. Apa setiap hari akan terus berulang seperti ini. apa ini yang membuatku bahagia. Menyedot bersih jiwa. Mengeringkan semua sumsum dari tulang-tulang tubuhku. Membuat seluruhnya hampa. Tak berarti. Gelap. Seakan tersedot lubang hitam. Tak ada bedanya membuka dan menutup mata. Hilang dan melebur bersama serpihan memori yang tersisa.

Ada kalanya, saat kita harus sendiri. Saat kita memang harus menghadapi semuanya tanpa siapa pun di samping kita. Berdiri di atas kedua kaki sendiri, menggenggam dengan kedua tangan sendiri, melihat dan mendengar dengan kedua mata dan telinga kita sendiri. Setiap orang pasti memiliki waktu-waktu seperti itu. Ketika itu, sering kali kita merasa tak berdaya. Bingung. Muncul banyak pertanyaan-pertanyaan. Yang tak ada satu pun jawaban yang kita tahu. Merasa tak mengerti dengan hidup ini. merasa begitu lemah. Kecil. Lebih kecil dari semut. Tak apa. Tak ada yang salah dengan itu. Sebuah fenomena yang manusiawi. Dibalik rasa percaya diri kita, dibalik rasa bangga kita, dibalik keberanian-keberanian kita, sebetulnya kita sedang berusaha menyembunyikan sisi lainnya, keraguan akan kemampuan kita sendiri, rasa kecewa pada diri sendiri saat mengingat semua kegagalan dulu yang sebelumnya kita yakin akan berhasil, rasa takut akan masa depan yang tak pernah ter bayangkan, rasa khawatir akan sukses tidaknya kita nanti, akan bergunanya kita nanti bagi orang-orang di sekitar kita.

Tuhan mengatakan kita adalah makhluk-Nya yang paling sempurna. Awalnya aku menyangkal itu. Tapi sekarang aku mengerti apa yang membuat kita sempurna jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Kita bukan malaikat yang selalu benar. Kita bukan iblis yang selalu salah. Kita manusia. Malaikat, hanya dapat menjadi baik. Mereka tidak dapat berbuat jahat, bahkan saat mereka menginginkannya. Iblis, hanya dapat menjadi jahat. Mereka tak dapat berbuat baik meski mereka lelah berbuat jahat. Tapi kita manusia, kita dapat menjadi iblis terkejam di muka bumi sekaligus menjadi malaikat bersayap cahaya di waktu yang bersamaan. Kita dapat mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Kita dapat mengganti kebenaran menjadi kesalahan. Itu yang membuat kita sempurna. Karena kita dapat memilih. Sesuatu yang tidak dimiliki malaikat dan iblis. Atau binatang dan tumbuhan sekali pun. Hanya kita yang dianugerahi kemampuan itu. Menurutku itu adalah anugerah terbesar Tuhan untuk manusia. Memilih. Membuat manusia menjadi seutuhnya manusia.


Saat angin kehidupan meniup kencang tubuh kita. Saat kaki-kaki telah lelah melangkah, saat tangan sudah lemah untuk menggenggam. Ketika saat itu tiba, kita harus membuat keputusan. Apa kita akan memilih untuk menyerah. Atau bangkit, berdiri di atas tanah. Dengan gagah mengatakan pada dunia, “aku adalah semut kecil yang tangguh”.

Selasa, 17 November 2015

Aku Setelah Bertemu Denganmu "君と出会えた僕"

君と出会えた僕
Aku Setelah Bertemu Denganmu

Aku ingin sedikit berbagi mengenai cinta. Yang aku bicarakan di sini adalah cinta kepada pasangan. Menurutku, cinta adalah sesuatu yang abstrak dan paling kontroversial. Mulai dari yang berkata cinta itu bahagia, cinta itu rasa sakit, cinta itu indah, cinta itu pengorbanan, dan lain-lain. Kita semua memiliki pandangan masing-masing mengenai apa itu cinta. Namun yang akan aku ceritakan sedikit berbeda dengan kisah cinta biasanya.

Satu waktu aku dan pacarku jalan ke salah satu mall besar di Bandung. Seperti halnya orang-orang pada waktu itu, kami belanja sana-sini, bermain sana-sini, makan ini-itu, dan lain-lain. Setelah lelah dengan semua agenda kencan itu, di tengah perjalanan tiba-tiba pacarku mendatangi seorang kakek yang duduk di pinggir jalan tepat di depan mall tersebut. Kakek itu berwajah hitam keriput dan terlihat sudah sangat tua. Sambil kedua tangannya memegang keset, dengan suara yang parau ia menawarkan barang dagangannya pada orang-orang yang berlalu-lalang. Pacarku mendekatinya dan menanyakan berapa harga keset tersebut, lalu akhirnya membeli keset dari sang kakek tua itu. Kakek itu terlihat sangat senang dan terus berterima kasih. Melihat kejadian itu, untuk sekejap membuatku terdiam dan bengong. Aku tak habis pikir. Di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan kota besar, di antara orang-orang yang beraktifitas dengan semua kemewahan yang mereka miliki, belanja barang-barang trendy, makan di restoran elit, sangat kecil sekali kemungkinan ada orang yang cukup peka dan bersimpati untuk membeli sebuah keset murahan dari seorang kakek tua di pinggir jalan. Bahkan aku sendiri tak melihat ada seorang kakek di situ. Harus ku akui itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hanya yang cukup berjiwa besar, yang mampu menanggalkan semua gelar kehormatan di bahunya, lalu merendah untuk sejajar dengan orang yang akan ditolong, dan membawanya terbang bersama dengannya. Dan tak semua orang dapat melakukan itu di zaman seperti ini. Aku merasa sangat terkejut waktu itu. Hari itu, menjadi momen yang tak akan terlupakan bagiku.

Semenjak kejadian itu aku mencoba lebih sadar pada lingkungan. Aku mencoba membuka mata dan telinga lebih lebar dari sebelumnya. Hingga beberapa waktu yang lalu aku bertemu seorang nenek bongkok penjual sapu lidi. Sambil berjalan dengan tergopoh-gopoh nenek itu menenteng sapu-sapu lidi jualannya. Walau pun dunia keras padanya, nenek itu enggan menjadi pengemis dan memilih tak menyerah pada kehidupan. Walau pun sebetulnya aku tidak perlu, tapi aku memutuskan untuk membantu dengan membeli sapu lidinya. Nenek itu terlihat sangat bahagia dan berterima kasih padaku karena telah membeli dagangannya. Sepertinya sudah seharian ia berjalan jauh dan tak ada sapunya yang laku. Uang yang aku keluarkan untuk membeli sebatang sapu lidi itu memang tak seberapa, tapi ada perasaan bahagia tersendiri yang ku rasakan tiba-tiba. Perasaan yang tak dapat aku jelaskan dengan kata-kata. Hanya yang pasti, ketika aku menyaksikan wajah bahagia nenek itu aku merasakan kebahagiaan yang tak terbayar oleh apa pun. Saat itu aku merasa betapa berharganya keberadaanku karena aku dapat berbagi. Rupanya ini yang dirasakan pacarku sewaktu menolong kakek penjual keset dulu. Dan aku pun ingin terus berbagi.

Aku berubah. Ya, berkat pacarku.

Banyak orang berkata bahwa cinta tak perlu alasan. Ya, mungkin benar. Tapi ada hal janggal yang mengganggu pikiranku dari kalimat itu. Apabila memang benar cinta tak perlu alasan, mungkin saat ini aku dapat saja jatuh cinta pada tukang seblak dekat kosanku. Toh kan tak perlu alasan untuk mencintai. Jadi, aku pikir walau pun kita semua berkata bahwa cinta tak perlu alasan, namun  sebetulnya ada hal yang kita suka dari pasangan kita. Sesuatu yang membuat kita nyaman bersamanya. Sesuatu yang membuat kita ingin terus berada di sampingnya. Sesuatu yang tak bisa kita dapatkan dari orang lain. Itulah sebabnya kita tidak dapat jatuh cinta pada semua orang. Hanya saja saking meluapnya perasaan-perasaan itu, kita tak sempat memeriksanya lebih dalam. Sampai akhirnya muncullah sebuah kata yang rasanya sanggup mewakili semua perasaan yang tidak kita mengerti itu, cinta.


Jadi, apa itu cinta. Aku tak tahu. Mungkin kita tak akan pernah tahu. Namun, setidaknya kita belajar satu hal. Berbicara mengenai cinta tak akan pernah selesai. Berkutat dalam perbincangan itu hanya akan membuang waktu. Yang terpenting bukanlah bagaimana kita dapat jatuh cinta, tapi bagaimana kita setelah jatuh cinta. Selama kita menjadi orang yang lebih baik karena cinta, setidaknya cinta kita sudah berada di jalan yang benar.

Jumat, 13 November 2015

Kehilangan

Kehilangan

Ini kejadian paling mengerikan dan menakutkan sepanjang hidupku. Kejadian ini pengalaman pertama bagiku. Pengalaman berharga yang tak akan pernah terlupakan.

Aku memiliki seorang adik laki-laki. Umurnya sekitar delapan tahun. Ia adik paling nakal yang  kumiliki. Di rumah ia selalu saja membuat keributan yang membuat orang serumah jengkel. Bisa dibilang adikku yang satu ini si pembuat onar. Banyak sekali sejarah kekacauan di rumah yang telah ia ciptakan. Seperti robohnya garasi, kebakaran kursi, dan lain-lain. Rumah kami didatangi banyak tetangga karena kenakalannya, dan itu hal yang sudah biasa bagi keluarga kami setiap harinya. Adikku yang satu ini juga paling malas sekolah, ia pergi ke sekolah hanya untuk membeli mainan dan binatang peliharaan yang hanya akan bertahan satu hari. Ikan, keong laut, kura-kura, ayam, bahkan sampai kelinci pernah menjadi korbannya. Hampir setiap kasus yang terjadi ia selalu disalahkan sebagai tersangkanya. Sehingga selalu saja ia yang kami sekeluarga marahi, dan terkadang dibenci, olehku. Namun, satu kejadian ini membuatku sadar dan merubah apa yang selama ini aku lihat.

 Aku seorang mahasiswa di universitas negeri yang berkampus di Jatinangor-Sumedang. Dalam beberapa kesempatan aku biasa pulang ke kampung halamanku di Sukabumi. Pada satu waktu aku pulang ke rumah, saat itu hanya ada adikku di rumah. “si pembuat onar”. Seperti biasa, dia sedang mencorat-coret tembok ruang tv waktu itu. Lalu aku pun memarahinya dan menyuruhnya bermain di luar saja. Setelah melewati beberapa ronde debat akhirnya ia pun menyerah dan pergi keluar. Beberapa jam kemudian waktu pun berlalu, ia tak kunjung pulang juga. Rasa kesalku lama-kelamaan berubah menjadi khawatir, saat tiba-tiba seorang anak datang berlari ke dalam rumah dengan wajah yang cemas sambil berkata, “Kak! Itu kak!” anak itu mulai berteriak padaku. Aku merasakan hal yang tak beres terjadi, aku pun bergegas berlari keluar rumah dan mendapati adikku di ujung jalan sedang terpoyong-poyong berjalan ke arahku sambil memegangi kepalanya. Di sela-sela jarinya mengalir deras carian kental berwarna merah segar yang berakhir pada tetesan di ujung sikutnya. Ia tak menangis, tak berteriak, diam tanpa suara. Wajahnya pucat, matanya sedikit sayu, mulutnya terbuka sampai hanya terlihat sedikit ujung giginya. Terlalu cepat untuk bisa dimengerti dan dirasakan olehnya. Aku terdiam waktu itu, beberapa detik kemudian aku gendong ia dan berlari mencari pangkalan ojeg terdekat. Waktu itu jalanan sepi. Aku terus berlari tanpa alas kaki di atas aspal panas yang tak dapat ku rasakan sedikit pun. Aku hanya melihat ke depan, aku dapat merasakan lemasnya tubuh adikku, kaosnya yang basah dan sedikit lengket membasahi tanganku juga. Tanpa perlu melihatnya aku terus berlari sampai menemukan pangkalan ojeg di ujung belokan. Aku diantar menuju klinik terdekat. Namun terpaksa aku harus bergegas pergi ke rumah sakit besar karena yang terjadi pada adikku di luar batas penanganan dokter klinik tersebut. Akhirnya aku tiba di rumah sakit dan menggendongnya ke instalasi gawat darurat. Beberapa perawat datang dan menyiapkan kasur bedah. Berselang beberapa menit yang kulakukan hanya terus memegangi tangannya menahan agar ia tak menyentuh kepalanya yang sedang dijahit. Ia tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku terus melihat matanya dan berkata “Gak apa-apa” “Gak apa-apa”. Sekitar setengah jam berlalu, aku tak tahu pasti. Itu terasa seharian bagiku, bertahan dalam ketakutan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Akhirnya dokter dan para perawat itu pergi. Enam belas jahitan, sebesar telunjukku.

Beberapa jam kemudian, keluargaku datang. Aku menceritakan semuanya. Aku takut. Takut sekali. Setelah hari itu aku sadar, seberapa pun aku membencinya, kesal padanya, marah, ia tetap adikku. Adik yang kadang membuatku tertawa karena kenakalan-kenakalannya, adik yang membuatku semangat untuk mengejar mimpi-mimpiku. Adik yang aku sayangi.

Kita tak akan pernah menyangka betapa sebenarnya kita menyayangi orang-orang yang selama ini ada di dekat kita. Keluarga, teman-teman, sahabat, kekasih. Yang ikut mengisi hari-hari kita hingga sampai hari ini. Yang ada untuk kita saat sedih dan senang. Memang betul mereka tak selalu membuat kita bahagia, ada kalanya menyulitkan, memalukan, membosankan, bahkan membuat kita ingin membenci mereka. Tapi itu semua tak membuat mereka menjadi tak berharga lagi. Cobalah lihat mereka sekali lagi, perhatikan ketika mereka tersenyum, apa itu tak membuat kita bahagia juga. Perhatikan ketika mereka menangis, apa itu tak membuat kita sakit juga. Kita akan melihat apa yang tak terlihat. Percayalah, kita memang sungguh-sungguh menyayangi mereka.

Hari ini aku belajar satu hal. Mungkin yang orang-orang bilang itu betul, kadang manusia perlu menunggu kehilangan sesuatu untuk menyadari betapa berharganya sesuatu tersebut. Aku bersyukur, aku tak harus mengalami kehilangan itu dulu.