Kamis, 06 Oktober 2016

Pilih DUNIA atau AKHIRAT?

PILIH DUNIA ATAU AKHIRAT?

Pilih dunia atau akhirat?

Pertanyaan yang agak sedikit konyol menurut saya. Maaf bila terdengar sedikit keras, tapi saya akan coba menjelaskannya dengan perlahan.

Sebetulnya sudah lama saya memahami konsep ini. Namun, selama ini saya menyimpannya hanya untuk diri sendiri, karena saya khawatir orang lain tidak akan bisa mengikuti karena penjelasan saya yang kurang baik, atau mungkin karena saya terlalu egois dan rakus untuk menikmatinya sendiri. Oleh karena itu saya putuskan untuk membagikannya. Semoga bisa menginspirasi.

Pilih dunia atau akhirat?

Pertanyaan semacam itu yang seringkali seorang pemuka agama lontarkan dalam kebanyakan materi pencerahannya saat mencoba mengajak audience-nya menjadi seorang pribadi yang lebih taat, saat mencoba menunjukkan bahwa dunia ini adalah sesuatu yang seakan kotor, dan akhirat adalah tempat satu-satunya yang harus kita perjuangkan. Kalimat seperti ''dahulukan akhirat, dunia ini hanya sementara.'', atau ''jangan melulu mengurusi dunia, akhirat itu lebih penting.'' Telah berhasil mengukir guratan yang cukup membekas dalam benak generasi kita sekarang. Tidak ada yang perlu disalahkan, ini hanya soal fenomena alam di mana generasi yang baru selalu mendawasa bersama dominasi pemikiran generasi sebelumnya. Karena yang menjadi masalah sekarang adalah apakah sang genarasi muda ini akan tinggal diam begitu saja dijejali oleh semua warisan pemikiran itu? Tulisan ini akan mencoba membongkar paradigma tersebut.

Baik disadari maupun tidak, statement-statement tersebut mencerminkan pemikiran yang mangatakan bahwa dunia dan akhirat adalah dua hal berbeda yang harus kita pilih. Seolah kita harus selalu mendahulukan urusan akhirat ketimbang dunia. Namun apakah memang seperti itu?

Pertanyaannya sekarang adalah ''Apakah kita akan sukses di akhirat dengan melupakan kehidupan dunia?'' Coba jawab. Tentu tidak bisa, bukan. Akhirat tidak lebih penting dari dunia, dunia tidak sama pentingnya dengan akhirat, dunia lebih penting dari akhirat. Ya, saya ulangi.

Dunia masih lebih penting daripada akhirat.

Kalimat itu yang menjadi headline tulisan ini.

“Apa yang kau tuai hari ini adalah yang kau tanam kemarin” Kalau begitu hari ini pun kita juga sudah dapat memperkirakan bukan apa yang akan besok kita tuai. Begitu pula soal kehidupan dunia dan akhirat. Bagaimana bisa kita berharap selamat di akhirat bila di dunia kita berlaku buruk? Bagaimana bisa kita meminta surga di akhirat bila di dunia kita berkawan dengan kejahatan? Itu artinya apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia yang sekarang ini masih lebih penting daripada tujuan kita di akhirat nanti. Yang kita lakukan hari ini masih lebih berharga daripada keinginan kita di hari esok. Usaha kita di masa ini masih lebih menentukan daripada mimpi-mimpi besar kita di masa depan. Saya tidak mengatakan bahwa tujuan akhir tidak penting, yang ingin saya tekankan adalah bahwa prosesnya masih lebih penting daripada hasilnya. Proses yang baik tentu akan memberikan hasil yang baik pula. Harapan dan keinginan itu hanya akan menjadi ruang kosong, mimpi-mimpi besar itu sekedar akan menjadi kerlipan bintang-bintang penghias langit saja, kecuali kita buktikan bahwa itu bukan hanya sekedar omongan. Dan di sinilah tempat di mana kita akan membuktikan semua itu, kehidupan di mana kita akan memperjuangkan tujuan kita di akhirat kelak, yaitu dunia.

Anggapan yang seringkali orang pikirkan adalah bahwa dunia dan akhirat merupakan dua buah jalan yang berlawanan. Saat kita memilih jalan yang satu, maka otomatis kita akan menjauhi jalan yang lainnya. Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Dunia dan akhirat adalah satu jalan yang saling terhubung.

Dunia dan akhirat adalah satu line yang membentang lurus dalam dimensi waktu kehidupan manusia. Kita tidak bisa begitu saja berharap tiba di akhirat tanpa melewati dunia (Kecuali kita korban aborsi). Dunia adalah proses yang harus dilalui. Sementara akhirat adalah hasil yang akan diterima. Sebagaimana yang kita semua tahu, proses itulah yang menentukan bagaimana nanti hasilnya. Oleh karena itu, proses lebih penting daripada hasil. Dalam kasus ini bekerja hukum sebab-akibat, di mana segala perilaku kita di dunia ini menjadi penyebab dari akibat yang akan kita terima di akhirat nanti.

Efeknya, paradigma mengenai pemisahan antara dunia dan akhirat itu membuat adanya diskriminasi ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Dengan dasar pemikiran yang seperti itu menjadikan kita menjalani kehidupan di mana orang-orang di sekitar kita mengatakan bahwa shalat adalah urusan akhirat dan bekerja adalah urusan dunia, bahwa belajar ilmu agama adalah urusan akhirat dan belajar ilmu fisika adalah urusan dunia, di mana mereka yang dipandang sholeh dan bertakwa tak lain ialah mereka yang selalu mengerjakan urusan akhirat. 

Padahal tidak ada hukum yang menyatakan perbedaan ibadah dunia atau akhirat, yang ada hanyalah ibadah pada Tuhan. Shalat adalah ibadah pada Tuhan, bekerja pun sama. Belajar Ilmu agama adalah ibadah pada Tuhan, belajar ilmu fisika pun sama. Sekalipun ingin dibedakan, itu hanya perkara ''langsung'' atau ''tidak langsung''. Shalat merupakan ibadah yang langsung berhubungan dengan Tuhan, merupakan kegiatan individual yang tak menyangkut manusia lain. Sementara bekerja adalah ibadah tidak langsung. Walaupun kita bekerja dengan atasan kita dan bertujuan untuk memuaskan klien dan konsumen namun apabila kita telusuri semua aktivitas tersebut, pada ujungnya kita akan sampai pada simpulan bahwa pekerjaan yang kita lakukan adalah bentuk ibadah kita pada Tuhan. Memang sulit untuk mencapai pemahaman pada level tersebut, diperlukan pengalaman melatih hati dan pikiran agar niat dan jalannya sesuai. Coba perhatikan contoh kasus tersebut.

Ari bekerja pada sebuah perusahaan manufaktur perakitatan mobil milik Jepang di indonesia. Ia dianuherahi untuk memegang tanggung jawab sebagai General Manager dalam berkontribusi demi pembangunan perusahaan. Tugas Ari adalah menjaga agar kesetabilan supply, produksi, dan penjualan terkendali dengan baik. Ia membuat rangkaian proses bisnis itu terus berjalan. Hasilnya, perusahaan mampu menghasilkan ribuan unit mobil yang siap dinikmati oleh masyarakat. Bapak Arief salah satunya. Ia beserta istri dan keluarganya pergi mudik untuk bersilaturahmi menuju kampung halamannya menggunakan mobil yang perusahaan Ari produksi. Bukankah itu sebuah ibadah? Bayangkan bila Ari malas bekerja lalu siklus produksi terganggu dan keluaran mobilnya menjadi jelek dan tak dapat digunakan oleh Pak Arief untuk mudik Bukankah itu bernilai sebuah idabah saat kita dapat membantu orang lain Saat kita bermanfaat bagi orang lainTerlepas dari apa yang Pak Arief lakukan untuk menggunakan mobil itu, apakah untuk kebaikan atau keburukan itu urusannya dengan Tuhannya sendiri. Hal yang terpenting di sini adalah Pak Ari telah berhasil menyumbangkan keberadaannya bagi kebaikan orang lain dengan pekerjaannya. Tuhan tidak mungkin menurunkan malaikatnya langsung untuk mengantarkan Pak Arief dan keluarganya bermudik ria. Pak Ari adalah perpanjangan tangan Tuhan yang diutus untuk itu.

Tidak ada istilah urusan dunia atau urusan akhirat. Semua urusan kita adalah untuk akhirat, yang dilakukan di dunia. Dunia lebih penting daripada akhirat karena dunia lah tempat kita beribadah, bukan di akhirat. Anggapan bahwa segala urusan akhirat adalah sesuatu yang selalu bermula dari konten ''agamis'' adalah sebuah stereotip yang salah arah. Ceramah seorang ustad di atas mimbar shalat Jumat yang membuat ma'mumnya insyaf adalah sama ibadahnya dengan seorang vokalis band yang melantunkan lirik lagunya dalam sebuah konser dan membuat para penonton kembali bangkit dari kegagalannya. Seorang santri yang belajar ilmu tajwid dalam membaca Al-Quran di pesantren sama ibadahnya dengan seorang mahasiswa akhir yang sedang berlari-lari mengejar acc skripsi dosen pembimbingnya di kampus. Ibadah itu hadir dalam beragam bentuk. Perkaranya ada pada pola pemikaran kita. Ketika kita mampu meniatkan diri untuk ikhlas bahwa semua yang kita lakukan (termasuk bekerja) adalah ibadah kepada-Nya, itu akan meningkatkan keimanan kita pada pencipta kita. Insyaallah hal itu akan Ia perhitungkan sebagai komponen yang akan ikut andil dalam memberatkan timbangan kebaikan kita di hari akhir nanti.

Simpulannya adalah, tidak ada pembedaan antara urusan dunia dan akhirat. Semua aktifitas baik sekecil apapun di dunia ini dapat bernilai ibadah tergantung bagaimana niat dan cara yang kita pilih. Ibadah adalah segala macam bentuk perilaku baik dengan niat pengabdian pada Tuhan dengan jalan menyejahterakan pribadi sendiri, sesama, dan alam.

Saya yakin, yang selama ini disampaikan para pemuka agama itu tidaklah berbeda. Hanya mungkin, selama ini kita kurang mendapatkan penjabaran yang lebih detil saja. Semoga tulisan ini bisa membantu, merangsang, dan menginspirasi kita semua untuk belajar lebih dalam. Mari kita sama-sama tingkatkan ketakwaan kita dengan sebenar-benarnya iman yang dibantu dengan pikiran yang baik.
           
            Jadi, pilih dunia atau akhirat?

            Itu bukan pilihan. Dunia adalah tempat saya memperjuangkan akhirat.